Pages

Selasa, 11 Januari 2011

Antara Gayus dan Maling Ayam


Mungkin judul diatas kita sering baca atau sering dengar dalam bahasa yang berbeda tetapi intinya sama. Umumnya yang dibicarakan adalah masalah hukum yang ditegakkan pada dua kasus yang memiliki perbedaan jauh tersebut. dan umumnya yang dibicarakan adalah proses yang melibatkan aparat hukum didua kasus tersebut.
inikah sikap kita?
Kita tidak berbicara hanya khusus masalah ayam saja, tetapi semua maling amatir ikut masuk dalam pembahasan ini. dulu waktu saya masih kuliah di STAN, ketika hendak pergi ke masjid untuk sholat shubuh, pernah  saya melewati sekumpulan penduduk kampung plus anak-anak kost mengerumuni sosok yang sedang sekarat dengan tangan terikat dan hanya memakai celana dalam saja. Entah dari awal pakaiannya seperti itu atau tidak itu bukan masalah. Katanya dia adalah salah seorang yang sedang berusaha maling salah satu tempat kost mahasiswa, sialnya dia adalah seorang yang tertangkap sedang temannya yang lain berhasil kabur.
Katanya lagi ketika tertangkap, entah berapa orang mungkin tidak ada yang menghitung, dari penduduk kampung khususnya anak-anak muda dan anak-anak kost yang geregetan dengan ulahnya, masing-masing dipersilahkan memukul si maling dengan sekali pukulan. Kalau cuma satu dua orang saja mungkin masih tahan, tetapi mungkin ada lebih dari 30-an orang bahkan jauh melebihi jumlah tersebut yang memberikan satu bogem mentah per kepala (kayak pembagian sembako J). Sampai akhirnya katanya dia meninggal di kepolisian. Kasus-kasus seperti ini banyak kita dengar.
Kemudian akhir-akhir ini kita mendengar berita atau membacanya di koran, ada seorang koruptor lulusan STAN (saya juga ikut malu mendengarnya L) yang bermuka badak kata beberapa orang, statusnya ditahan tetapi bisa plesir kesana kemari dengan ‘kekuasaan’ uang yang dia miliki. Saya jadi trenyuh, bukan masalah perlakuan hukum yang dibeda-bedakan antara si maling amatir dengan koruptor ini, karena itu sudah biasa dan sudah sering kita baca dan dengar, tetapi si penegak hukum masih tetap saja seperti itu(saya maklumi saja, karena mereka juga butuh uangJ). Hanyasaja yang saya sayangkan adalah sikap masyarakat yang ternyata disadari atau tidak sama saja dalam menyikapi antara maling ayam dengan maling kelas kakap setingkat koruptor, sama dengan aparat penegak hukum yang selalu mereka kritik ketika para aparat ini dirasakan tidak melakukan tugasnya sesuai aturan yang berlaku. Apalagi pada contoh pengalaman saya diatas, beberapa dari masyarakat itu adalah mahasiswa STAN juga, adik-adik angkatannya Gayus Tambunan. Mereka terhitung membuat hukum sendiri, tetapi belum tentu mereka ketika masuk kerja tidak akan seperti Gayus walaupun dalam taraf kecil-kecilan (dimanapun mahasiswa hanya bisa ngomong saja, tanpa tahu apa sebenarnya yang terjadi di lingkungan nyata, dimana seseorang akan menghadapi berbagai konflik batin entah masalah kepentingan atau ambisi).
Masyarakat mungkin perlu tahu, bahwa yang mereka hukum dengan dipukul, dibakar atau dihanyutkan kesungai dalam sebuah berita, adalah orang-orang yang hanya akan merugikan satu dua diantara mereka, mungkin tidak ada 2-3% diantara mereka yang akan dirugikan oleh maling-maling ayam ini, tetapi mereka seharusnya sadar juga bahwa para koruptor ini lebih dari maling ayam. Mereka adalah orang-orang yang merugikan seluruh rakyat, bukan hanya satu-dua orang. Oleh karena itu, masyarakat harus sadar bahwa kalau maling ayam, mereka tega membakarnya…kalau maling uang rakyat …???. Seharusnya bukan maling ayam yang jadi bulan-bulanan masyarakat, seharusnya yang sekedar maling ayam ini bisa sedikit mendapat bonus ‘plesir’ jika dalam status ditahan. Ini bukan provokasi…tetapi hanya menyindir cara pandang kita terhadap dua persoalan yang ‘njomplang’ berat sebelah.

0 komentar:

Posting Komentar